Wednesday, January 27, 2016

Distance

Ternyata cerita tentang jarak selalu sama. Rasa yang sama, luka yang sama. Jarak mungkin tidak berarti apa-apa bagi sebagian orang, tapi tak sedikit yang jarak menyisakan cerita tersendiri. Suka duka karena jarak. Beruntunglah bagi yang mampi melawan jarak, bagi yang tidak mampu? Akan kalah melawan jarak yang akhirnya menyerah akan keadaan.
Pernah waktu itu menonton youtube video kisah cinta dua artis. Yah mereka pernah dipisahkan jarak berbeda negara, Singapura-Indonesia. Mungkin awalnya memang baik-baik saja, namun lama kelamaan hubungan menjadi renggang. Masalah kesibukan, komunikasi, dan intensitas bertemu. Tapi sayang aku bukan artis yang bisa dengan mudah terbang ke tempat penyebab jarak itu. Aku hanya seorang mahasiswa kere yang bahkan ketika ingin membeli sesuatu harus berpikir seribu kali. Bagaimana bisa aku membeli tiket pesawat atau kereta yang harganya sama seperti uang sakuku selama satu bulan? Bagaimana mungkin pula orang tuaku akan membiarkan anaknya seorang diri pergi ke tempat jauh? Yang bisa aku lakukan hanya diam di tempat, menunggu, hanya bisa menunggu.
Banyak orang bilang hubungan jarak jauh pada akhirnya akan kandas juga. Awalnya aku hanya pasrah apa yang akan terjadi di depan nanti. Pada Akhirnya aku mengalami masalah klasik dalam hubungan jarak jauh. Jarak kita terlalu jauh. Sedangkan aku bukan orang yang mampu melawan jarak. Aku kehilangan alasan mengapa aku harus menunggu, sedangkan aku bukan hanya mencari pasangan namun mencari teman yang mampu menemaniku. Faktanya dalam hubungan jarak jauh, komunikasi hanya bisa melalui telepon, chat dan sejenisnya. Bahkan itu semua tidak memecahkan kesunyianku.
Pada akhirnya intesitas bertemu menjadi alasan kuat mengapa aku tak ingin lagi membuat cerita tentang jarak. Lelah ketika aku merindu, aku atau kita tak mampu berbuat apa-apa. Rindu yang tak terbalas itu sungguh menyakitkan. Apalagi ketika salah satu pihak terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga enggan meluangkan waktunya untuk sekedar bertemu. Seandainya aku bukan mahasiswa kere dan seorang anak yang mudah mendapat kepercayaan orang tua, mungkin aku sudah menemuinya sekarang. Faktanya tidak demikian.
Aku tidak paham perjuangan seperti apa yang harus dilakukan dalam hubungan jarak jauh. Yang aku tahu salah satu harus meluangkan waktu dan materi ditengah kesibukannya. Mungkin dengan cara seperti itu aku tahu seperti apa perjuangan itu dan seberapa penting aku dibutuhkan dan dipedulikan. Kalau itu semua tidak, lalu untuk apa?
Aku enggan membuat cerita lagi. Terlalu menyakitkan dan begitu banyak perasaan yang harus dikorbankan. Lebih baik tak ada cerita sehingga kita bisa menjalani hidup masing-masing di tempat yang berbeda tanpa harus saling menyakiti dan tanpa adanya harapan semu dari menunggu. Sudah cukup cerita ini.

Aku enggan bermain-main dengan hati lagi. Terlebih lagi ternyata umurku sudah dewasa dan sudah waktunya untuk mencari yang terakhir. Cukup lah pacaran ala ala remaja. Sempat terpikir, jika memang serius denganku, mengapa tak datangi saja orang tuaku? Entahlah :)

Friday, January 22, 2016

hm :)

if all story have same ending, then why you make another story? it's better not make story again if you know how the ending.

mungkin sudah saatnya aku balik cari buku toko buku, cari buku lain kalau satu buku sudah selesai dibaca. itu satu-satunya cara menyibukkan diri ketika aku merasa sendiri dan tak berteman. perasaan sendiri perasaan yang paling aku benci tapi nyatanya selalu aku alami. tersiksa tapi aku bisa apa? kalau takdir saja menyuruhku untuk tetap sendiri.

jujur udah gak ngerti harus ngetik apa lagi ini, cari kalimat yang pas juga gak bisa.

cuman bisa bilang...
welcome again loneliness.

semakin erat di aku. lelah sama orang sok peduli, sok mau nemenin aku, nyatanya juga ninggal.

mbongi lelah dan semakin lelah.
seperti gak akan berakhir.. rasanya.

11 years and still counting without know when it will end.
aku sudah cukup lelah membuat cerita.

maybe it just my fate, and I can't avoid it :)

where's happiness? I'm too tired to find it.